MAKALAH TENTANG TATA KELOLA PERTAMBANGAN
TUGAS MAKALAH
TENTANG
TATA KELOLA
PERTAMBANGAN
Disusun Oleh :
Kelompok : 5
Nama
Siswa : Syarifudin
Endang Suryati
Besan
Gemusyani Belen
Novita Anggun
Fandi Agup
Tofan R. Belen
SMA NEGERI 3 WAEAPO
KECAMATAN WAEAPO,
KABUPATEN BURU
TAHUN 2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
kemudahan bagi kami sebagai penyusun untuk dapat menyelesaikan tugas ini tepat
pada waktunya. Makalah ini merupakan tugas mata pelajaran, yang mana dengan
tugas ini kami sebagai siswa dapat mengetahui lebih jauh dari materi yang
diberikan guru mata pelajaran tersebut.
Makalah yang berjudul tentang “Tata Kelola Pertambangan”. Mengenai
penjelasan lebih lanjut kami memaparkannya dalam bagian pembahasan Makalah ini.
Dengan harapan Makalah ini dapat bermanfaat, maka kami sebagai penulis
mengucapakan terima kasih kepada semua pihak yan telah membantu menyelesaikan Makalah
ini.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam penyelesaian Makalah ini. Saran dan kritik yang membangun
dengan terbuka kami terima untuk meningkatkan kualitas Makalah ini.
Waekerta, 8
Oktober 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
judul .................................................................................................................
Kata
pengantar ..................................................................................................................
Daftar isi ............................................................................................................................
BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang ......................................................................................................
B. Rumusan
masalah ...................................................................................................
C. Tujuan
praktikum ...................................................................................................
D. Manfaat
praktikum ................................................................................................
BAB II. PEMBAHASAN
A. Definisi
Pertambangan ........................................................................................
B. Usaha
pertambangan ...........................................................................................
C. Konsep
Pengelolaan Pertambangan ....................................................................
D. Kebijakan
Pengelolaan Lingkungan ....................................................................
E. Pendekatan
Pengelolaan Lingkungan ..................................................................
F. Rehabilitasi
Lahan ...............................................................................................
BAB III.
PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................................
B. Saran .......................................................................................................................
Daftar
pustaka ...................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidak
bisa dipungkiri bahwa kebutuhan manusia semakin beragam salah satunya adalah
kebutuhan papan/tempat tinggal. Meningkatnya jumlah penduduk menjadi faktor
utama meningkatnya kebutuhan pemukiman. Guna memenuhi kebutuhan lahan yang
semakin lama makin sempit maka manusia dengan berbagai cara melakukan perluasan
lahan yaitu dengan menambang/mengepras gunung dan perbukitan. Kehidupan di era
modern tidak luput dengan industri untuk memproduksi barang/jasa. Semakin
pesatnya pertumbuhan kota maka lahan makin terbatas dan kebutuhan lahan untuk
industri di kota-kota besar dipenuhi dengan reklamasi dan penambangan mineral
bukan logam. (Almaida, 2008).
Berlakunya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan
kewenangan pengelolaan sumber daya alam khususnya pertambangan kepada masing-masing
daerah. Kewenangan untuk pengelolaan pertambangan dari tingkat pusat hingga
kabupaten/kota telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara. Dengan adanya dua peraturan tersebut
seharusnya semakin memperkuat posisi pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah
tingkat Kabupaten/Kota. Namun, sangat disayangkan pemerintah Kabupaten/Kota
belum memaksimalkan kekuatan hukum ini dalam penegakan upaya pengelolaan
pertambangan yang ramah lingkungan.
Secara
ekonomi, kegiatan penambangan mampu mendatangkan keuntungan yang sangat besar
yaitu mendatangkan devisa dan menyerap tenaga kerja sangat banyak dan bagi
Kabupaten/Kota bisa meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan kewajiban
pengusaha membayar retribusi dan lain-lain. Namun, keuntungan ekonomi yang
didapat tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan akibat kegiatan penambangan
yang syarat dengan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam. (Hasibuan,
2006).
Menurut
Dyahwanti (2007), berdasarkan perhitungan pendapatan yang diperoleh serta biaya
kerugian lingkungan yang ada maka diperoleh nilai perbandingan sebesar 0.67.
Angka ini menunjukkan bahwa nilai pendapatan tiap tahun yang diperoleh dari
kegiatan penambangan pasir sesungguhnya sangat kecil dan tidak sebanding dengan
total kerugian lingkungan yang terjadi. Padahal kerugian tersebut belum
termasuk adanya perkiraan biaya lingkungan dari total erosi yang terjadi,
polusi udara, biaya menyusutnya air serta biaya reklamasi lahan. Reklamasi
lahan yang merupakan kegiatan pemulihan dari tanah kritis dan mati menjadi
tanah produktif sangat mahal dari segi biaya, tenaga dan waktu. Memerlukan
waktu tersendiri untuk menghitung biaya reklamasi lahan bekas penambangan
pasir. Jadi apabila dihitung keseluruhan biaya kerugian lingkungan yang terjadi
dengan adanya kegiatan penambangan pasir akan menghasilkan nilai yang sangat
kecil dan tidak berarti sama sekali. Manfaat yang diperoleh dari kegiatan
penambangan pasir tidak akan ada artinya bila dibandingkan dengan nilai kerugian
lingkungan yang terjadi secara keseluruhan.
Walaupun
kegiatan penambanga sudah diatur secara jelas dalam Undang-Undang, akan tetapi
permasalahan lingkungan tetap saja terjadi hal ini dikarenakan penggalian bahan
mineral bukan logam (pasir, kerikil, tanah timbun) tidak terkendali dan tidak
terawasi. Seperti yang terjadi di Kabupaten Buru dari lokasi penambangan yang
terdapat pada kecamatan waeapo tersebut tidak memiliki Surat Izin Penambangan
Daerah (SIPD).
Akibat
penambangan ini mengakibatkan terjadinya pengikisan terhadap humus tanah, yaitu
lapisan teratas dari permukaan tanah yang mengandung bahan organik yang disebut
dengan unsur hara dan berwarna gelap karena akumulasi bahan organik di lapisan
ini yang merupakan tempat tumbuhnya tanaman sehingga menjadi subur. Lapisan
humus ini banyak digunakan oleh masyarakat untuk menyuburkan pekarangan rumah.
Adanya lubang-lubang bekas penambangan mengakibatkan lahan tidak bisa
dipergunakan lagi (menjadi lahan yang tidak produktif), pada saat musim hujan
lubang-lubang akan digenangi air sehingga berpotensi sumber penyakit karena
menjadi sarang nyamuk. Di Daerah Aliran Sungai (DAS) mengalami perubahan yaitu
permukaan sungai melebar yang dapat mengakibatkan erosi. (Hasibuan, 2006).
Kegiatan
penambangan emas dalam hal ini akan menjadikan rusaknya lingkungan sehingga
berpotensi menimbulkan bencana bagi daerah yang berada disekitarnya. Kegiatan
penambangan emas dengan laju erosi dan Tingkat Bahaya Erosi (TBE) tinggi
membahayakan menyebabkan sebagian tanah yang berada di sekitarnya, terutama
yang berada di bagian atas akan mengalami longsor. Hal seperti ini jelas sangat
berbahaya dan menimbulkan ketakutan pada pemilik tanah sekitar yang tanahnya
belum digali. Hal ini terjadi karena penambang tidak menerapkan sistem teras
pada tanah sekitarnya sehingga terbentuk tebing yang tinggi. Keuntungan ekonomi
yang diperoleh secara sepintas tampak menguntungkan namun apabila dikaji lebih
dalam dan dibandingkan dengan kerugian lingkungan dalam rupiah maka tampak
jelas bahwa tidak ada keuntungan yang diperoleh. (Dyahwanti, 2007).
Diperlukan
ketegasan dan keberanian dari aparat pemerintah dalam menangani permasalahan
ini. Jika upaya penyelamatan lingkungan terhadap daerah konservasi masih
setengah hati maka sumber daya alam yang ada saat ini kemungkinan tidak akan
dirasakan oleh generasi mendatang. Usaha untuk melakukan pengelolaan lingkungan
sudah berkali-kali didesak oleh BLH Kabupaten Buru terhadap penambang seperti
membuat embung atau penambangan dilakukan dengan terasering, sehingga aktivitas
mereka tidak merawankan pekerja maupun warga sekitar. Pemerintah kabupaten juga
mendesak agar penambang maupun pemilik untuk merawat infrastruktur jalan di
lokasi penambangan . Lahan bekas penambangan agar dikembalikan lagi seperti
semula dengan melakukan reboisasi. (Suara Merdeka, 2012).
B. Perumusan
Masalah
Penambangan
emas di Kecamatan Waeapo, kabupaten Buru mempunyai potensi yang signifikan
terhadap kerusakan lingkungan. Kecamatan Waeapo merupakan daerah permukiman
yang cukup padat. Melihat kenyataan yang ada, mendorong penulis untuk melakukan
kajian dan mengevaluasi seberapa jauh kerusakan lingkungan fisik dan sosial
yang terjadi dan rumusan pengelolaan lingkungan.
Dari
rumusan masalah tersebut, maka pertanyaan penelitiannya adalah sebagai berikut
:
1)
Bagaimana kerusakan lingkungan fisik yang
terjadi akibat kegiatan penambangan mineral bukan logam di Kecamatan Waeapo?
2)
Bagaimana dampak sosial akibat penambangan
mineral bukan logam terhadap masyarakat di Kecamatan Waeapo?
3)
Bagaimana rumusan pengelolaan lingkungan di
lokasi penambangan?
C. Tujuan
Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam kegiatan penelitian
ini adalah :
1.
Mengkaji kerusakan lingkungan fisik akibat
penambangan mineral bukan logam di Kecamatan Waeapo.
2.
Mengkaji dampak sosial akibat penambangan
mineral bukan logam terhadap masyarakat di Kecamatan Waeapo.
3.
Merumuskan usulan pengelolaan lingkungan di
lokasi penambangan.
D. Manfaat
Penelitian
Penelitian ini sangat bermanfaat bagi :
1.
Pemerintah Kabupaten Buru : Dapat dijadikan
sebagai acuan dalam merencanakan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup.
Pembelajaran yang muncul diharapkan dapat menjadi sumber inspirasi bagi wilayah
lain yang memiliki permasalahan serupa.
2.
Penulis : Dapat menambah wawasan pengetahuan
tentang pengelolaan lingkungan penambangan mineral bukan logam secara baik dan
benar.
3.
Ilmu Pengetahuan :Bermanfaat untuk pengembangan
konsep akademis dibidang pengelolaan lingkungan utamanya terkait dengan konsep
pengelolaan penambangan mineral bukan logam secara baik dan benar.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Pertambangan
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara Pasal 1 butir (1) disebutkan pertambangan
adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan,
dan pengusahaan mineral atau batu bara yang meliputi penyelidikan umum,
eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian,
pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang.
B.
Usaha pertambangan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Usaha pertambangan
adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi
tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, kostruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pasca
tambang. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa usaha pertambangan
bahan-bahan galian dibedakan menjadi 8 (delapan) macam yaitu:
1)
Penyelidikan umum, adalah tahapan kegiatan
pertambangan untuk mengetahui kondisi geologi regional dan indikasi adanya
mineralisasi.
2)
Eksplorasi, adalah tahapan kegiatan usaha
pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang
lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas, dan sumber daya terukur dari bahan
galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup.
3)
Operasi produksi, adalah tahapan kegiatan usaha
pertambangan yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian,
termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak
lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan.
4)
Konstruksi, adalah kegiatan usaha pertambangan
untuk melakukan pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi, termasuk
pengendalian dampak lingkungan.
5)
Penambangan, adalah bagian kegiatan usaha
pertambangan untuk memproduksi mineral dan/atau batu bara dan mineral
ikutannya.
6)
Pengolahan dan pemurnian, adalah kegiatan usaha
pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/atau batu bara serta untuk
memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan.
7)
Pengangkutan, adalah kegiatan usaha pertambangan
untuk memindahkan mineral dan/atau batu bara dari daerah tambang dan/atau
tempat pengolahan dan pemurnian sampai tempat penyerahan.
2)
Penjualan, adalah kegiatan usaha pertambangan
untuk menjual hasil pertambangan mineral atau batubara.\
Usaha pertambangan ini dikelompokkan atas:
a.
Pertambangan mineral; dan
Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di
alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal
teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau
padu. Pertambangan mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa
bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air
tanah.Pertambangan mineral digolongkan atas:
a.
Pertambangan mineral radio aktif;
b.
Pertambangan mineral logam;
c.
Pertambangan mineral bukan logam;
d.
Pertambangan batuan.
b.
Pertambangan batubara.
Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang
terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan. Pertambangan batubara
adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk
bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.
C.
Konsep Pengelolaan Pertambangan
Menurut
Sudrajat (2010), cap atau kesan buruk bahwa pertambanganmerupakan kegiatan
usaha yang bersifat zero value sebagai akibat dari kenyataan berkembangnya
kegiatan penambangan yang tidak memenuhi kriteria dan kaidahkaidah teknis yang
baik dan benar, adalah anggapan yang segera harus segera diakhiri. Caranya
adalah melakukan penataan konsep pengelolaan usaha pertambangan yang baik dan
benar. Menyadari bahwa industri pertambangan adalah industri yang akan terus
berlangsung sejalan dengan semakin meningkatnya peradaban manusia, maka yang
harus menjadi perhatian semua pihak adalah bagaimana mendorong industri
pertambangan sebagai industri yang dapat memaksimalkan dampak positif dan
menekan dampak negatif seminimal mungkin melalui konsep pengelolaan usaha
pertambangan berwawasan jangka panjang.
Berdasarkan
pada pengamatan dan pengalaman Sudrajat (2010), yang bergelut dalam dunia
praktis di lapangan, munculnya sejumlah persoalan yang mengiringi kegiatan
usaha pertambangan di lapangan diantaranya :
a.
Terkorbankannya pemilik lahan
Kegiatan usaha pertambangan adalah kegiatan yang
cenderung mengorbankan kepentingan pemegang hak atas lahan. Hal ini sering
terjadi lantaran selain kurang bagusnya administrasi pertanahan di tingkat
bawah, juga karena faktor budaya dan adat setempat. Kebiasaan masyarakat adat
di beberapa tempat dalam hal penguasaan hak atas tanah biasanya cukup dengan
adanya pengaturan intern mereka, yaitu saling mengetahui dan menghormati antara
batas-batas tanah. Keadaan tersebut kemudian dimanfaatkan oleh sekelompok orang
dengan cara membuat surat tanah dari desa setempat.
b.
Kerusakan lingkungan
Kegiatan usaha pertambangan merupakan kegiatan yang
sudah pasti akan menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan adalah fakta
yang tidak dapat dibantah. Untuk mengambil bahan galian tertentu, dilakukan
dengan melaksanakan penggalian. Artinya akan terjadi perombakan atau perubahan
permukaan bumi, sesuai karakteristik pembentukan dan keberadaan bahan galian,
yang secara geologis dalam pembentukannya harus memenuhi kondisi geologi
tertentu.
c.
Ketimpangan sosial
Kebanyakan kegiatan usaha pertambangan di daerah
terpencil dimana keberadaan masyarakatnya masih hidup dengan sangat sederhana,
tingkat pendidikan umumnya hanya tamatan SD, dan kondisi sosial ekonomi umumnya
masih berada di bawah garis kemiskinan. Di lain pihak, kegiatan usaha
pertambangan membawa pendatang dengan tingkat pendidikan cukup, menerapkan
teknologi menengah sampai tinggi, dengan budaya dan kebiasaan yang terkadang
bertolak belakang dengan masyarakat setempat. Kondisi ini menyebabkan munculnya
kesenjangan sosial antara lingkungan pertambangan dengan masyarakat di sekitar usaha
pertambangan berlangsung.
Berangkat
dari ketiga permasalahan pertambangan tersebut, Sudrajat (2010), menyatakan
bahwa dalam menjalankan pengelolaan dan pengusahaan bahan galian harus
dilakukan dengan cara yang baik dan benar (good mining practice). Good
mining practice meliputi :
1.
Penetapan wilayah pertambangan,
2.
Penghormatan terhadap pemegang hak atas tanah,
3.
Aspek perizinan,
4.
Teknis penambangan,
5.
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3),
6.
Lingkungan,
7.
Keterkaitan hulu-hilir/konservasi/nilai tambah,
8.
pengembangan masyarakat/wilayah di sekitar
lokasi kegiatan,
9.
Rencana penutupan pasca tambang,
10.
Standardisasi.
D.
Kebijakan Pengelolaan Lingkungan
Salah
satu tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat
yang berkeadilan dan berprikemanusiaan. Ketersediaan sumberdaya alam dalam
meningkatkan pembangunan sangat terbatas dan tidak merata, sedangkan permintaan
sumberdaya alam terus meningkat, akibat peningkatan pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan penduduk. (Syahputra, 2005) Syahputra (2005), menambahkan pula bahwa
dalam rangka upaya mengendalikan pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat
pembangunan maka, perlu dilakukan perencanaan pembangunan yang dilandasi
prinsip pembangunan berkelanjutan. Prinsip pembangunan berkelanjutan dilakukan
dengan memadukan kemampuan lingkungan, sumber daya alam dan teknologi ke dalam
proses pembangunan untuk menjamin generasi masa ini dan generasi masa
mendatang.
Dalam
peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2010 tentang reklamasi
dan pasca tambang prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
pertambangan meliputi :
1.
Perlindungan terhadap kualitas air permukaan,
air tanah, air laut, dan tanah serta udara berdasarkan standar baku mutu atau
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan;
2.
Perlindungan dan pemulihan keanekaragaman
hayati;
3.
Penjaminan terhadap stabilitas dan keamanan
timbunan batuan penutup, kolam tailing, lahan bekas tambang, dan struktur
buatan lainnya;
4.
Pemanfaatan lahan bekas tambang sesuai dengan
peruntukannya;
5.
Memperhatikan nilai-nilai sosial dan budaya
setempat; dan
6.
Perlindungan terhadap kuantitas airtanah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kebijakan
lingkungan berlandaskan pada manajemen lingkungan dan tergantung pada tinggi
rendahnya orientasi. Orientasi kebijakan lingkungan yang umum dikenal adalah
orientasi kebijakan memenuhi peraturan lingkungan (compliance oriented) dan
yang berusaha melebihi standar peraturan tersebut (beyond compliance).
Para pemangku kepentingan dalam kegiatan penambangan mineral bukan logam adalah
para pengambil kebijakan yang sudah seharusnya memprioritaskan pengelolaan
lingkungan pada level tertinggi.
Kebijakan
yang berorientasi pada pemenuhan peraturan perundangundangan (regulation
compliance) merupakan awal pemikiran manajemen lingkungan. Perusahaan
berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari penalti-denda lingkungan, klaim
dari masyarakat sekitar, dll. Kebijakan ini menggunakan metoda reaktif, ad-hoc
dan pendekatan end of pipe (menanggulangi masalah polusi dan limbah
pada hasil akhirnya, seperti lewat penyaring udara, teknologi pengolah air
limbah dll). (Purwanto, 2002)
Kebijakan
yang berorientasi setelah pemenuhan berangkat dari cara tradisional dalam
menangani isu lingkungan karena cara reaktif, ad-hoc dan pendekatan end
of pipe terbukti tidak efektif. Seiring kompetisi yang semakin meningkat
dalam pasar global yang semakin berkembang, hukum lingkungan dan peraturan
menerapkan standar baru bagi sektor bisnis diseluruh bagian dunia. (Purwanto
2002). Soerjani (2007), menyatakan bahwa pengelolaan lingkungan ditujukan
kepada perilaku dan perbuatan yang ramah lingkungan dalam semua sektor
tindakan. Jadi, istilah lingkungan tidak boleh diobral sehingga maknanya
menjadi kabur atau bahkan hilang artinya. Teknologi harus ramah lingkungan,
jadi tidak perlu ada teknologi lingkungan, karena teknologi memang sudah harus
ramah lingkungan. Demikian pula dengan kesehatan lingkungan. Perilaku ekonomi
juga harus ramah lingkungan, artinya hemat sumber daya (tenaga, pikiran, materi
dan waktu dengan hasil kegiatan yang optimal).
E.
Pendekatan Pengelolaan Lingkungan
Keputusan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor :1453.K/29/MEM/2000 membagi
pendekatan pengelolaan lingkungan ke dalam 3 jenis :
1.
Pendekatan Teknologi
Memuat
semua cara/teknik pengelolaan lingkungan fisik maupun biologi yang direncanakan
/diperlukan untuk mencegah/mengurangi/menanggulangi dampak kegiatan
Pertambangan sehingga kelestarian lingkungan lebih lanjut dapat dipertahankan
dan bahkan untuk memperbaiki/meningkatkan daya dukungnya seperti :
a)
Pencegahan erosi, longsoran dan sedimentasi
dengan penghijauan dan terasering.
b)
Penggunaan lahan secara terencana dengan
memperhatikan konservasi lahan.
c)
Mengurangi terjadinya pencemaran pantai laut,
apabila lokasi kegiatan terletak ditepi pantai
d)
Membangun kolam pengendapan disekitar daerah
kegiatan untuk menahan lumpur oleh aliran permukaan
e)
Membuat cek dam dan turap
f)
Penimbunan kembali lubang-lubang bekas tambang
g)
Penataan lahan
2.
Pendekatan Ekonomi Sosial dan Budaya
Pada
bagian ini dirinci semua bantuan dan kerjasama aparatur pemerintah terkait yang
diperlukan oleh pemprakarsa untuk menanggulangi dampak-dampak lingkungan
kegiatan Pertambangan ditinjau dari segi biaya, kemudahan, sosial ekonomi,
misalnya :
1.
Bantuan biaya dan kemudahan untuk operasi
pengelolaan lingkungan
a)
Kemudahan/keringanan bea masuk pengadaan
peralatan
b)
Keringanan syarat pinjaman/kredit bank
c)
Kebijaksanaan dan penyelenggaraan penyaluran
penduduk yang tergusur dari lahan tempat tinggalnya atau lahan mata pencahariannya
2.
Penanggulangan masalah sosial, ekonomi dan
sosial budaya, antara lain:
a)
Pelaksanaan ganti rugi ditempuh dengan cara-cara
yang tepat
b)
Kebijaksanaan dan penyelenggaraan penyaluran
penduduk yang tergusur dari lahan tempat tinggalnya atau lahan mata pencahariannya
c)
Pendidikan dan pelatihan bagi penduduk yang
mengalami perubahan pola kehidupan dan sumber penghidupan
d)
Penggunaan tenaga kerja setempat yang bila perlu
didahului dengan latihan keterampilan
e)
Penyelamatan benda bersejarah dan tempat yang
dikeramatkan masyarakat
3.
Pendekatan Institusi
Pada
bagian ini dirinci kegiatan setiap instansi/badan/lembaga lain yang terlibat/
perlu dilibatkan dalam rangka pelaksanaan pembangunan dan kegiatan
penanggulangan dampak rencana kegiatan pertambangan umum ditinjau dari segi
kewenangan, tanggung jawab dan keterkaitan antar instansi/badan/lembaga,
misalnya :
a)
Pengembangan mekanisme kerjasama/koordinasi
antar instansi Peraturan perundang-undangan yang menunjang pengelolaan
lingkungan
b)
Pengawasan baik intern maupun ekstern yang meliputi
pengawasan oleh aparat pemerintah dan masyarakat
c)
Perencanaan prasarana dan sarana umum, baik
relokasi maupun baru
F.
Rehabilitasi Lahan
Reklamasi
Lahan Pasca Penambangan adalah suatu upaya pemanfaatan lahan pasca penambangan
melalui rona perbaikan lingkungan fisik terutama pada bentang lahan yang telah
dirusak. Upaya ini dilakukan untuk mengembalikan secara ekologis atau
difungsikan menurut rencana peruntukannya dengan melihat konsep tata ruang dan
kewilayahan secara ekologis. Kewajiban reklamasi lahan bisa dilakukan oleh
pengusaha secara langsung mereklamasi lahan atau memberikan sejumlah uang
sebagai jaminan akan melakukan reklamasi. Yudhistira, (2008).
Berdasarkan
data dari Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral pada Tahun 2005 terdapat 186
perusahaan tambang yang masih aktif dengan total luas areal sekitar 57.703 ha
dan hanya 20.086 ha yang telah direklamasi oleh para perusahaan yang memperoleh
kontrak pada lahan tersebut. Sebagian lahan tersebut dikembalikan kepada petani
untuk diusahakan kembali menjadi lahan pertanian. Sebagian pengusaha tidak
mereklamasi lahan dan meninggalkan begitu saja.
Almaida
(2008), Kewajiban pasca tambang yang bersifat fisik mempunyai dimensi ekonomi
dan sosial yang sangat tinggi dan berpotensi menimbulkan konflik pada
masyarakat dengan pemerintah dan juga usaha pertambangan. Oleh karena itu
pengelolaan pasca tambang bukan merupakan masalah fisik, tetapi merupakan political
will pemerintah untuk meregulasi secara benar dengan memperhatikan kaidah
lingkungan. Kemudian mengimplementasikannya dengan mengedepankan kepentingan
masyarakat lokal dan mengacu kepada falfasah ekonomi dan sosial serta
akuntabilitas yang dapat dipercaya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemanfaatan sumber daya alam haruslah tetap berpijak
pada kaidah-kaidah pembangunan yang bertumpu pada masyarakat. Hal ini akan
tercermin dalam implementasigood governance (tata kelola pemerintahan yang
baik). Dalam pengelolaan sumber daya alam pemerintah pusat dan daerah mempunyai
kewenangan penuh, sehingga untuk kedepannya harus berhati-hati dalam menentukan
kerjasama dengan investor asing. Sumber daya alam yang ada di Indonesia harus
berpihak kepada kemakmuran masyarakat dan kesejahteraan masyarak, peningkatan
ekonomi masyarakat, serta kesejahteraan masyarakat Indonesia sendiri.
Masih lemahnya penerapan prinsip-prinsip good
governance dalam hal pengelolaan sumber daya ekonomi strategis sektor
pertambangan, diantaranya adalah sebagai berikut:
1)
Transparansi, dalam pemberian perizinan
pertambangan belum ada keterbukaan yang
berbentuk kemudahan akses informasi bagi masyarakat
terhadap proses pemberian perizinan pertambangan dan juga dalam melihat dampak
dari pemberian izin tersebut.
2)
Akuntabilitas, tidak adanya tanggungjawab
perusahaan asing terhadap masyarakat sekitar dan lingkungan, sehingga yang
terjadi banyak kerusakan alam akibat dari eksploitasi pertambangan yang
dilakukan oleh asing, selain kerusakan alam juga terjadi pencemaran lingkungan
hidup yang mengancam hajat hidup orang banyak.
3)
Partisipasi, belum adanya keterlibatan
masyarakat dalam pembentukan kebijakan publik yang akan diimplementasikan
kepada masyarakat. Sehingga masyarakat tidak bisa berpartisipasi dalam
pengambilan kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Hal ini sudah
terbukti dengan UU no.10/2001, belum memberikan sarana untuk partisipasi
masyarakat dlm pembuatan berbagai perat perund-undangan. UU no. 11/1967, tidak
memberikan sama sekali kesempatan kepada masy utk turut berpartisipasi di
bidang pertambangan. UU no.4/2009, tidak memberikan kesempatan kepada
masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilanm kebijakan di bidang
pertambangan.
4)
Rule of law atau ketidakadilan, penerapan
peraturan dan perundang-undangan yang belum jelas, masih banyaknya tumpang
tindih peraturan yang mengatur tentang pengelolaan pertambangan baik peraturan
daerah maupun peraturan pusat.
A. Saran
Adapun saran dari penulisan makalah ini adalah :
1.
Bagi Pemerintah : Sebaiknya Pemerintah
merencanakan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup. Pembelajaran yang muncul
diharapkan dapat menjadi sumber inspirasi bagi pemerintah untu menentukan
kebijakan kedepan.
2.
Bagi Siswa : sebagai siswa seharusnya peduli
terhadap pengelolaan lingkungan penambangan emas yang ada di sekitar kita
sehingga dapat di olah secara baik dan benar.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini
masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami sangat membutuhkan saran serta
kritik dari pembaca yang sifatnya membangun agar penulisan makalah – makalah
selanjutnya dapat lebih baik lagi. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
terus ini hasil dari rumusan masalahnya mana?
BalasHapus