MAKALAH TENTANG KONSEP PEMBELAJARAN IPA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh bangsaIndonesia adalah
rendahnya mutu pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai
usaha telah dilakukan untuk menigkatkan mutu pendidikan nasional, antara lain
melalui berbagai pelatihan dan peningkatan kualitas guru, penyempurnaan
kurikulum, pengadaan buku dan alat pelajaran, perbaikan sarana dan prasarana
pendidikanlain, dan peningkatan mutu manajemen sekolah, namun demikian,
berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang memadai.
Mengajar bukan semata persoalan menceritakan. Belajar bukanlah konsekuensi
otomatis dari perenungan informasi ke dalam benak siswa. Belajar memerlukan
keterlibatan mental dan kerja siswa sendiri. Penjelasan dan pemeragaan semata
tidak akan membuahkan hasil belajar yang langgeng. Yang bisa membuahkan hasil
belajar yang langgeng hanyalah kegiatan pengajaran berbasis inkuiri.
Apa yang menjadikan pengajaran menjadi aktif? Agar belajar menjadi aktif
siswa harus mengerjakan banyak sekali tugas. Mereka harus menggunakan otak,
mengkaji gagasan, memecahkan masalah, dan menerapkan apa yang mereka pelajari.
Pengajaran berbasis inkuiri harus gesit, menyenangkan, bersemangat dan penuh
gairah. Siswa bahkan sering meninggalkan tempat duduk mereka, bergerak leluasa
dan berfikir keras (moving about dan thinking aloud)
Untuk bisa mempelajari sesuatu dengan baik, kita perlu mendengar, melihat,
mengajukan pertanyaan tentangnya, dan membahasnya dengan orang lain. Bukan Cuma
itu, siswa perlu “mengerjakannya”, yakni menggambarkan sesuatu dengan cara mereka
sendiri, menunjukkan contohnya, mencoba mempraktekkan keterampilan, dan
mengerjakan tugas yang menuntut pengetahuan yang telah atau harus mereka
dapatkan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas penulis mencoba menganalisa
permasalahan permasalahan yang mempengaruhi kualitas pembelajaran IPA di
tingkat sekolah dasar, serta mencari faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi
kualitas pembelajaran dan solusi peningkatan pembelajaran IPA di tingkat
sekolah
Dengan menyadari gejala-gejala atau kenyataan tersebut diatas, maka dalam
penelitian ini penulis penulis mengambil judul “Problematika pembelajaran IPA
SD”
B. Rumusan
Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang diatas maka penulis merumuskan
permasalahnnya sebagi berikut:
1. Bagaimana rendahnya kualitas pembelajaran
IPA berpengaruh terhadap peningkatan prestasi belajar siswa
2. Faktor – faktor apa sajakah yang
dapat mempengaruhi kualitas pembelajaran IPA dalam peningkatan prestasi belajar
siswa
3. Solusi apa saja yang dapat
dilakukan guna meningkatkan pembelajaran IPA sebagai salah satu upaya untuk
mengatasi rendahnya pembelajaran IPA di tingkat sekolah dasar
C. Tujuan
Penelitian
Sesuai dengan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1.
Ingin mengetahui seberapa jauh keterkaitan kualitas pembelajaran IPA
berpengaruh terhadap peningkatan prestasi belajar siswa
2.
Mengetahui pengaruh Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi kualitas
pembelajaran IPA dalam peningkatan prestasi belajar siswa dan solusi apa saja
yang dapat dilakukan guna meningkatkan pembelajaran IPA sebagai salah satu
upaya untuk mengatasi rendahnya pembelajaran IPA di tingkat sekolah dasar
BAB
III
PEMBAHASAN
1.
Rendahnya kualitas pembelajaran
IPA
Pendekatan dalam pembelajaran IPA
tidak mudah diimplementasikan. Persepsi mengenai peran guru di kelas, peran
sekolah dalam pendidikan anak, persepsi dan harapan orang tua terhadap guru dan
sekolah masih sangat kontradiktif dengan perspektif konstruktivisma dan sangat
Pendekatan konstruktivisma dalam pembelajaran IPA tidak mudah diimplementasikan. sukar untuk mengubah
paradigma yang berpandangan bahwa guru adalah satu-satunya sumber belajar.
Keterbatasan guru dalam bidang
pengetahuan ilmiah dan perasaan kurang percaya diri untuk mengajar IPA
merupakan kendala yang lain. Hal ini dikarenakan kebanyakan guru SD merupakan
guru kelas yang mengajar beberapa mata pelajaran (high workload).
Persepsi guru terhadap IPA juga sangat menentukan pembelajaran IPA. Guru yang
memandang IPA sebagai sekumpulan fakta, konsep, atau teori belaka menyebabkan
pembelajaran IPA yang kurang bermakna. Walaupun guru memegang kuat komitmen
untuk mendidik siswa dan memandang bahwa siswa perlu belajar IPA, guru menjadi
kurang antusias dan tidak yakin akan kemampuan mereka dalam pembelajaran IPA.
Hal ini kurang menstimulasi siswa untuk belajar secara aktif (Dickinson, 1997).
Komitmen untuk memperbaiki proses pembelajaran IPA merupakan langkah penting
dalam mewujudkan proses pembelajaran yang efektif (Tobin, Briscoe, and Holman,
1990).
Masalah tersebut, ditambah sistem
ujian akhir nasional yang sangat menekankan pada pemahaman konsep, merupakan
suatu dilemma. Sistem tersebut mengakibatkan IPA diajarkan hanya sebagai
sekumpulan fakta, konsep, atau teori (body of knowledge), terutama pada
kelas 5 dan 6. Guru merasa perlu mempersiapkan siswa menghadapi ujian akhir
nasional dengan cara drilling supaya mereka dapat tepat menjawab soal.
Dedikasi guru untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa pada
bidang IPA dan memberikan bekal nilai-nilai ilmiah yang terkandung dalam
pembelajaran IPA menurun tajam bersamaan dengan tahap persiapan menghadapi
ujian.
Di samping itu, jumlah siswa
dalam kelas merupakan kendala utama pembelajaran IPA. Jumlah siswa di atas 20
anak dalam satu kelas menyebabkan guru kesulitan untuk mengatasi masalah
perbedaan kemampuan individu. Contoh kendala lain adalah ketersediaan waktu;
ketidakcocokan antara kurikulum, pembelajaran, dan evaluasi; keterbatasan sumber
belajar; pola hubungan antara guru dan siswa; dan lain-lain.
2.
Faktor-faktor kualitas
pembelajaran IPA
Ada
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi proses kegiatan belajar. Faktor-faktor
itu ada yang terdapat pada diri kita sendiri, tetapi ada pula yang di luar
kita. Dalam hal ini faktor yang mempengaruhi proses belajar ada tujuh faktor
(Hutabarat), yaitu:
1.
Faktor Kecerdasan
Yang
dimaksud dengan kecerdasan ialah kemampuan seseorang untuk melakukan kegiatan
berfikir yang bersifatnya rumit dan abstrak. Tingkat kecerdasan dari
masing-masing tidak sama. Ada yang tinggi, ada yang sedang dan ada pula yang
rendah. Orang yang tingkat kecerdasannya tinggi dapat mengolah gagasan yang
abstrak, rumit dan sulit dilakukan dengan cepat tanpa banyak
kesulitan-kesulitan dibandingkan dengan orang yang kurang cerdas. Orang yang
cerdas itu dapat memikirkan dan mengerjakan lebih banyak, lebih cepat dengan
tenaga yang relatif sedikit. Kecerdasan adalah suatu kemapuan yang dibawa dari
lahir sedangkan pendidikan tidak dapat meningkatkannya, tetapi hanya dapat
mengembangkannya. Namun hal ini tingginya kecerdasan seseorang bukanlah suatu
jaminan bahwa ia akan berhasil menyelesaikan pendidikan dengan baik, karena
keberhasilan dalam belajar bukan hanya ditentukan oleh kecerdasan saja tetapi
juga oleh faktor-faktor lainnya.
2.
Faktor Belajar
Yang
dimaksud dengan faktor belajar adalah semua segi kegiatan belajar, misalnya
kurang dapat memusatkan perhatian kepada pelajaran yang sedang dihadapi, tidak
dapat menguasai kaidah yang berkaitan sehingga tidak dapat membaca seluruh
bahan yang seharusnya dibaca. Termasuk di sini kurang menguasai cara-cara
belajar efektif dan efisien.
3.
Faktor Sikap
Banyak
pengaruh faktor sikap terhadap kegiatan dan keberhasilan siswa dalam belajar.
Sikap dapat menentukan apakah seseorang akan dapat belajar dengan lancar atau
tidak, tahan lama belajar atau tidak, senang pelajaran yang di hadapinya atau
tidak dan banyak lagi yang lain. Diantara sikap yang dimaksud di sini
adalah minat, keterbukaan pikiran, prasangka atau kesetiaan. Sikap yang positif
terhadap pelajaran merangsang cepatnya kegiatan belajar.
4.
Faktor Kegiatan
Faktor
kegiatan ialah faktor yang ada kaitannya dengan kesehatan, kesegaran jasmani
dan keadaan fisik seseorang. Sebagaimana telah diketahui, badan yang tidak
sehat membuat konsentrasi pikiran terganggu sehingga menganggu kegiatan
belajar.
5.
Faktor Emosi dan Sosial
Faktor
emosi seperti tidak senang dan rasa suka dan faktor sosial seperti persaingan
dan kerja sama sangat besar pengaruhnya dalam proses belajar. Ada diantara
faktor ini yang sifatnya mendorong terjadinya belajar tetapi ada juga yang
menjadi hambatan terhadap belajar efektif.
6.
Faktor Lingkungan
Yang
dimaksud faktor lingkungan ialah keadaan dan suasana tempat seseorang belajar.
Suasana dan keadaan tempat belajar itu turut juga menentukan berhasil atau
tidaknya kegiatan belajar. Kebisingan, bau busuk dan nyamuk yang menganggu pada
waktu belajar dan keadaan yang serba kacau di tempat belajar sangat besar
pengaruhnya terhadap keberhasilan belajar. Hubungan yang kurang serasi dengan
teman dapat menganggu kosentrasi dalam belajar.
7.
Faktor Guru
Kepribadian
guru, hubungan guru dengan siswa, kemampuan guru mengajar dan perhatian guru
terhadap kemampuan siswanya turut mempengaruhi keberhasilan belajar. Guru yang
kurang mampu dengan baik dalam mengajar dan yang kurang menguasai bahan yang
diajarkan dapat menimbulkan rasa tidak suka kepada yang diajarkan dan kurangnya
dorongan untuk menguasainya dipihak siswa. Sebaliknya guru yang pandai mengajar
yang dapat menimbulkan pada diri siswa rasa menggemari bahan yang diajarkannya
sehingga tanpa disuruh pun siswa banyak menambah pengetahuannya dibidang itu
dengan membaca buku-buku, majalah dan bahan cetak lainnya. Guru dapat juga
menimbulkan semangat belajar yang tinggi dan dapat juga mengendorkan keinginan
belajar yang sungguh-sungguh. Siswa yang baik berusaha mengatasi kesulitan ini
dengan memusatkan perhatian kepada bahan pelajaran, bukan kepada kepribadian
gurunya.
3.
Solusi peningkatan pembelajaran
IPA
Pengantar
Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar (SD). IPA sebagai salah satu ilmu dasar,
dewasa ini telah berkembang amat pesat baik materi maupun kegunaannya dalam
kehidupan sehari-hari . Penguasaan IPA secara baik sejak dini perlu ditanamkan sehingga
konsep-konsep dasar IPA dapat diterapkan dengan tepat dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan memakai konsep dasar IPA maka anak akan memiliki bekal
untuk menguak perkembangan ilmu dan teknologi yang berkembang pesat dewasa ini.
Dalam
pembelajaran IPA tentunya tidak lepas dari ciri IPA itu sendiri (Depdikbud,
1996), yaitu (1) memiliki objek kejadian yang abstrak dan (2) berpola pikir
deduktif dan konsisten. Disamping itu IPA berfungsi untuk mengembangkan
kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bilangan dan simbol-simbol serta
ketajaman penalaran yang dapat membantu memperjelas dan menyelesaikan
permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.
Tujuan
pembelajaran IPA di SD (Depdikbud, 1996) adalah:
1.
Mempersiapkan
siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan dalam kehidupan melalui latihan
bertindak atas dasar pemikiran logis, rasional, kritis, cermat, jujur dan
efektif.
2.
Mempersiapkan
siswa agar dapat menggunakan IPA dan pola pikir IPA dalam kehidupan sehari-hari
dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.
3.
Menambah
dan mengembangkan keterampilan berhitung dengan bilangan sebagai alat dalam
kehidupan sehari-hari.
4.
Mengembangkan
pengetahuan dasar IPA sebagai bekal untuk melanjutkan ke pendidikan menengah.
5.
Membentuk
sikap logis, kritis, cermat, kreatif dan disiplin.
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
uraian yang telah dipaparkan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa
problematika pembelajaran IPA di tingkat sekolah dasar dapat diatasi dengan
langkah-langkah sebagai berikut ;
1.
Hands-on and minds-on approaches
Belajar
efektif dengan melakukan ”aktivitas” (learning
by doing). Meskipun demikian, esensi ”aktivitas” dalam pembelajaran IPA
adalah ”aktivitas belajar” (Fleer, 2007). Dalam prakteknya tidak jarang bahwa
”aktivitas” (hands-on science)
itu sendiri tidak disertai dengan belajar (Bodrova and Leong, 2007). Dalam
artikelnya, Osborne (1997) bertanya secara provokatif: ”Is doing science the
best way to learn science?” Oleh karena itu, guru perlu memberikan kesempatan
bagi siswa untuk menginterpretasi konsep (minds-on approach) (Keogh and Naylor, 1996).
2.
Menempatkan siswa pada pusat proses pembelajaran
Metoda
mengajar tradisional dengan pendekatan ekspositori sebaiknya mulai dikurangi.
Guru yang hanya men-transmisi pengetahuan kurang menstimulasi siswa untuk
belajar secara aktif. Hal ini bukan berarti bahwa metoda ceramah tidak baik,
atau siswa tidak mengalami proses belajar. Variasi proses pembelajaran lebih
memicu siswa untuk aktif belajar (Rodriguez, 2001). Menempatkan siswa pada
pusat poses pembelajaran berarti memberikan kesempatan bagi siswa untuk
mengonstruksi hal yang dipelajarinya berdasarkan pengetahuan yang diketahuinya
dan menginterpretasi konsep, bukan memberikan informasi melalui buku teks
(Dickinson, 1997).
3.
Identifikasi pengetahuan awal dan kesalahpahaman
siswa
Hal ini
sama sekali tidak mudah karena beberapa faktor menyebabkan siswa SD tidak dapat
mengartikulasi dengan baik apa yang diketahuinya. Meskipun demikian, berangkat
dari apa yang siswa ketahui bermanfaat untuk menentukan rencana pembelajaran
yang efektif (Harlen, 1996).
B.
Saran
Belajar
merupakan proses aktif (Rodriguez, 2001). Anak belajar dengan cara
mengonstruksi hal yang dipelajarinya berdasarkan pengetahuan yang diketahuinya,
bukan menerima suatu hal dengan pasif. Pengertian ini berakar dari perspektif
konstruktivisma. Konstruktivisma sendiri banyak dijumpai di berbagai bidang
antara lain psikologi, filosofi, sosiologi, dan pendidikan, serta menimbulkan
implikasi yang berarti dalam pembelajaran IPA.
Hal
ini menimbulkan pertanyaan bahwa bagaimana cara membuat siswa belajar aktif ?
Dan pertanyaan ini sangat menentukan cara mengajar dan pembelajaran IPA di SD,
bahwa pembelajaran IPA tidak hanya penentuan dan penguasaan materi, tetapi
aspek apa dari IPA yang perlu diajarkan dan dengan cara bagaimana, supaya siswa
dapat memahami konsep yang dipelajari dengan baik dan terampil untuk
mengaplikasikan secara logis konsep tersebut pada situasi lain yang relevan
dengan pengalaman kesehariannya
Minat
siswa pada IPA juga penting untuk belajar IPA yang efektif, terutama untuk
mengembangkan rasa percaya diri dalam berpendapat, beralasan, dan menentukan
cara untuk mencari tahu jawabannya. Apabila demikian halnya, selama enam tahun
siswa akan mempunyai pengalaman belajar yang bermakna sehingga pada tahap ini
siswa mampu mengembangkan sikap dan nilai-nilai dari pembelajaran IPA. Siswa
yang berminat pada IPA akan merasakan bahwa belajar IPA itu menyenangkan
sehingga akan antusias mengenai bagaimana pelajaran IPA berimbas pada
pengalaman kesehariannya (Murphy and Beggs, 2003).
DAFTAR
PUSTAKA
Bodrova,
E., & Leong, D. J. (2007). Tools of the mind: The Vygotskian approach to
early childhood education (2 ed.). Upper Saddle River, N.J.: Pearson
Merrill/Prentice Hall.
Dickinson,
V.L. (1997). Becoming better primary science teachers: A description of our
journey. Journal of Science Teacher Education, 8(4), 296-311.
Fleer, M.
(2007). Learning science in classroom contexts. In M. Fleer (Ed.), Young
children: Thinking about the scientific world (pp. 20-23). Watson ACT:
Early Childhood Australia.
Harlen,
W. (1996). The teaching of science in primary schools. London: David
Fulton Publishers Ltd.
Keogh,
B., & Naylor, S. (1996). Scientist and primary school. Sandbach:
Millgate House Publishers.
Murphy,
C., & Beggs, J. (2003). Children’s perceptions on school science. School
Science Review, 84(308), 109-116.
Notohadiningrat,
T. (1992). Pengelolaan Lingkungan untuk Kelanjutan Kegunaan Sumberdaya Alam.
http://soil.faperta.ugm.ac.id/tj/1991/1992%20peng.pdf
Osborne,
J. (1997). Practical alternative. School Science Review, 78(285), 61-66.
Rodriguez,
A. J. (2001). Sociocultural constructivism, courage, and the researcher's gaze:
Redefining our roles as cultural warriors for social change. In A. C. Barton
& M. D. Osborne (Eds.), Teaching science in diverse settings:
Marginalized discourses and classroom practice (pp. 325-350). New York:
Peter Lang.
Tobin,
K., Briscoe, C., & Holman, J.R. (1990). Overcoming contraints to effective
elementary science teaching. Science Education, 74, 409-420.
Komentar
Posting Komentar